Cerita ini ditulis oleh seseorang yang mengalami sedang depresi rasa.
Bolehkah aku iri?
Mungkin boleh.
Siapa yang akan melarangku?
Ketika itu aku duduk ditaman
Pemandangan yang cukup
indah
Tampak dikejauhan laki
dan perempuan
Duduk berdua, terlihat akrab
Berbincang seru dan
saling tertawa
Mungkinkah aku iri?
Ketika sedang duduk bersamamu
Aku mencoba menghibur
layaknya kebanyakan lelaki
Kukira kau tersenyum karena leluconku
Tetapi tidak.
Senyummu bukan untukku
Untuk dia
Yang sedari tadi tak
berhenti mengirimmu pesan
Apakah aku terlihat iri?
Kulihat pesan di handphonemu
Kukira pesanku-lah yang bergambar “Love”
Ternyata bukan
Ada orang lain yang kau beri itu
pantaskah aku iri?
Ketika kulihat statusmu dibeberapa media
social
Kau jarang sekali menyenge-tag namaku
Hanya sekali dua kali saja
Itupun entah kapan taun
Kau selalu mengetag nama orang lain
Ya, siapa lagi kalau
bukan dia
Akankah aku iri?
Ketika kulihat mereka senang, bahagia
Menikmati indahnya sunset dipantai
Aku pun menikmatinya.
Tapi diujung sana
Ada bahunya yang menopang
kepalamu
Kulihat kau tersenyum bahagia didekatnya
Bukan didekatku
Bolehkah aku iri?
Aku tau...
Aku hanya sahabat
Yang datang saat dimintai
pertolongan.
Setiap kau butuh, yang kau hubungi aku
Hanya sesekali kau
hubungi dia.
Sekali lagi aku sadar,
Kalau aku hanyalah sahabatmu.
Ketika kau senang, kau lupa denganku
Kau lupa kalau kau punya sahabat,
Yang
sedang menunggu kabarmu,
Menunggu balasan pesan
darimu,
Yang kau lupakan ketika
kau dengan kekasihmu.
Bolehkah aku iri?
Apakah aku harus berterus
terang?
Perasaanku bergejolak
Mungkin kau pun tau itu
Dan kau hanya menganggap
itu sebagai
Rasa “Persahabatan”
Dan diriku
Hanya bisa menuliskan
perasaan ini
Lewat sebuah tulisan
Yang entah kaubaca atau
tidak.
Kuterima semua kenyataan
Bukan berarti ku
mengalah,
Tetapi aku menunggu waktu
yang tepat
Agar aku dapat menulis
ulang
kisah yang pernah kau
lakukan dengan dia.